Ketika menginjak bangku MA, aku bertambah tahu bahwa 'peluang' tidak hanya digunakan dalam bahasa indonesia, tapi juga dalam bahasa matematika. Cukup menarik. Dan cerita ini tidak hanya sampai disini. Ada bagian yang cukup tak terduga bagi diriku pribadi.
Baru beberapa hari yang lalu, stelah sekitar 2 tahun berada di dunia mahasiswa, seorang dosen statistika bercerita. Intinya, "Tidak semua ilmuan matematika yang mengakui keberadaan teori 'peluang'. Tidak hanya itu, mereka juga memiliki perbedaan dalam menyelesaikan suatu masalah (hitungan), memperlakukan rumus, bahkan interpretasi hasil."
Mungkin ilmuan matematika yang menolak eksistensi 'peluang' ini mengikut teori freudian yang mengatakan bahwa kita ini tidak punya 'free-will' alias apa2nya sudah ditentukan dan ditetapkan. Jadi tidak ada peluang sedikitpun dalam kehidupan kita dan kita tidak memiliki hak untuk menentukan masa depan kita. Ibarat air yang mengalir, tak ada pilihan selain mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Oleh karena itu 'peluang' itu hanya imajinasi.
Aku yang hanya anak ingusan ini sontak kaget mendengar penjelasan tersebut. Karna berdasarkan kebodohanku, ilmu matematika adalah ilmu pasti. Formulanya sudah distandarisasi dan general, dipakai diseluruh pelosok bumi tanpa ada perbedaan. Namun persepsiku ini salah total.
Dan perlahan aku tersadar, semua ilmu didunia ini tidak ada yang pasti, masih memiliki kekurangan atau kecacatan sehingga tidak bisa digeneralisasikan, kecuali ilmu yang bersumber dari Allah, alqur-an dan hadits. Wallahu a'lam.
