Eloklah jika kita kembali membaca kisah-kisah para manusia terbaik zaman dahulu. Mereka tau bagaimana menasehati seseorang dengan baik tanpa menyakiti perasaannya. Mereka juga begitu tenang menghadapi kritikan, karena itu dibutuhkan untuk improvisasi diri bagaimanapun cara penyampaiannya. Mereka begitu lembut membalas semua cercaan dan hinaan, yang sangat bertolak belakang dengan realita yang ada, tanpa perdebatan.

Eloklah jika kita kembali membuka lembaran-lembaran buku kita yang sudah lama bertengger di lemari dan mungkin sudah berdebu. Sehingga ilmu yang kita punya beserta pengamalannya juga agak memudar dari yang seharusnya. Mari kita kembali menyimak kisah teladan yang menggelora tentang seorang manusia terbaik sepanjang zaman, yang akhlaknya adalah alqur'an, Nabi Muhammad saw. yang selalu menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Dikisahkan ketika itu Rasulullah saw besama sahabat pulang dari perang khaibar. Mereka berjalan sangat jauh, sehingga mereka sangat letih. Ketika malam telah tiba, mereka berhenti disebuah tempat untuk istirahat dan tidur. Maka Rasulullah saw bertanya “Siapa yang bersedia berjaga malam ini agar membangunkan kita pada waktu shubuh?”. Dengan bersemangat Bilal menjawab: “Saya yaa Rasulallah... saya akan membangunkan Anda nanti”.

Maka Rasulullah saw dan para sahabat berbaring. Semuanya tertidur lelap saking letihnya. Bilal berjaga dan kemudian shalat malam sampai ia merasa letih sekali. Dia duduk bersandar ke perut ontanya sambil berusaha untuk terus berjaga. Namun akhirnya, diapun tertidur lelap sampai lewat waktu shubuh. Akibatnya, tak satupun yang terbangun ketika subuh sampai cahaya matahari menimpa wajah mereka.

Kemudian Rasulullah dan para sahabat terbangun. Mereka kalang-kabut melihat matahari yang mulai tinggi. Semua menatap tajam ke arah Bilal. Rasulullah pun menoleh kepada Bilal dan berkata: “Apa yang engkau perbuat kepada kami, wahai Bilal?”.

Bilal menjawab dengan ringkas dan padat tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dia berkata: “Wahai Rasulullah... Jiwaku telah tertimpa oleh apa yang telah menimpa jiwa Anda...” Artinya 'saya juga manusia. saya sudah berusaha melawan kantuk, tapi tak berhasil. Saya dikalahkan oleh kantuk sebagaimana juga kalian dikalahkannya'. Rasulullah saw pun berkata “Engkau benar...”, lalu Beliau diam tanpa ada komentar lain.

Karena tidak ada gunanya menyalahkan, mencela, apalagi memaki.
Ketika Rasulullah melihat para sahabat agak ribut dan gelisah, Beliau instruksikan para sahabat untuk melanjutkan perjalanan. Tidak seberapa jauh jaraknya, mereka berhenti, lalu berwudhu’ dan Rasulullah shalat mengimami mereka. Setelah salam, Rasulullah menghadap ke arah mereka dan berkata: “Apabila kalian lupa shalat... maka shalatlah ketika kalian teringat...!”.

Begitulah manusia terbaik sepanjang masa. Setiap tindakannya selalu mendidik dan membuat kita semakin dan semakin cinta kepadanya. Tindakannya beretika tak ada hati yang terluka, dan itu menunjukkan bahwa beliau memiliki level intelektualitas yang tinggi. Karena, dengan melihat cara seseorang merespon argumen yang bertentangan dengan apa yang dia sampaikan, kita dapat mengetahui siapa yang berpendidikan dan siapa yang kurang.

Berabad-abad kemudian, salah seorang pecinta Rasulullah yang menjadi tokoh pendiri pergerakan dakwah bersejarah, Ikhwanul Muslimin, jauh setelah wafatnya Rasulullah dan runtuhnya khilafah, dia hadir bak cahaya ditengah kegelapan khususnya bagi rakyat mesir. Beliau benar-benar berusaha meneladani akhlak Rasulullah di segala aspek. Marilah kita baca salah satu kisahnya yang mempesona.

Suatu hari, Imam Hasan Al-banna menyampaikan sebuah hadis dalam pengajian rutin yang beliau isi. Setelah menyampaikan hadis tersebut, tiba-tiba seorang lelaki yang kebetulan mengikuti kajian beliau sejak awal berteriak "itu hadits dho'if! Tidak bisa menjadi landasan!" Kurang lebih begitu bunyi teriakannya. Mendengar itu, sang Imam hanya tersenyum dan melanjutkan kajiannya. Si laki-laki tadi menganggap bahwa beliau setuju dengan argumennya.

Namun, setelah majelis bubar, imam hasan memanggil laki-laki tadi dan mengajaknya bicara. "Akhi.." Ujar Imam Al-banna "sebenarnya hadits yang saya sampaikan tadi shahih, nanti coba akhi cek lagi.." Lanjutnya. Mendengar itu, laki-laki tadi menjawab "kalau begitu, kenapa ustadz tadi hanya senyum seolah membenarkan perkataan saya?"

Sambil tersenyum Al-banna berkata "jika saya tadi tetap menggenggam pendapat saya yang benar, dan menentang dan mendebat akhi, tentu akhi nanti akan menjadi malu dan ukhuwah kita akan merenggang. Persaudaraan kita jauh lebih penting daripada mempertahankan pendapat meskipun kita benar". Mendengar jawaban dahsyat itu, si laki-laki menangis haru. Sungguh luar biasa ustadz ini.

Begitulah. Seorang yang berilmu, dia tahu kapan harus mempertahankan argumen, kapan harus berdebat dan menahan perdebatan untuk kembali didiskusikan secara tertutup. Benarlah hadits Rasulullah tentang jaminan Allah untuk orang-orang yang yang meninggalkan debat meskipun ia benar.

"Aku menjamin sebuah rumah di dasar sorga bagi orang yang meninggalkan debat walaupun ia dalam kebenaran. Aku menjamin sebuah rumah di tengah sorga bagi orang yang meninggalakn dusta walaupun saat bercanda. Aku menjamin sebuah rumah di puncak sorga bagi orang yang berakhlak mulia." (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu majah dari Abu Umamah, dishahihkan oleh Imam Albany).

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © 2013 Shofia Shabrina -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -