Disini aku akan bercerita tentang isi hatiku, tentang aku dan keluargaku, dan tentang aku dan ekspektasi yang berlebih..

Aku, seorang yang terlahir dari keluarga yang dipenuhi dengan ruh dan semangat dakwah. Ummi dan buya sejak kuliah bahkan SMA sudah terlibat aktif dalam pergerakan dakwah. Bahkan mereka juga dipertemukan dalam lingkaran dakwah.

Menurut keterangan orang-orang terdekat, buya sejak dulu adalah seorang pemuda yang punya ghiroh dakwah melebihi teman-teman seusianya. Buya semangat sekali ikut tarbiyah sejak SMA, dan sudah menjadi da'i penceramah diusianya yang masih muda.

Oleh karena itu, tak heran jika buya berani menikahi seorang wanita 21 tahun (ummi) sewaktu buya masih berumur 22 tahun lebih 5 bulan. Keputusan besar yang hanya bisa diambil oleh orang yang sudah dewasa dalam berpikir dan bertindak. Itulah ummi dan buya.

Padahal, keputusan buya saat itu bukanlah keputusan yang mudah. Buya sejak sekolah menengah sudah membiayai sekolah sendiri, begitu juga biaya kuliah dan lainnya. Sampai buya memutuskan untuk menikah, padahal dengan menikah, beban buya malah bertambah.

Back to the topic. Jadi begitulah tangguhnya buya dan ummi, dimataku dan juga dimata teman, rekan, junior, dan orang-orang disekelilingnya.

Sedari kecil, ummi dan buya selalu menanamkan dan menularkan ghirah yang ada dalam diri mereka kepada kami anak-anak mereka, termasuk aku. Baik dengan cara membawa kami ke pengajian-pengajian yang mereka hadiri, maupun dengan mengikutsertakan kami dalam agenda dakwah dan kampanye. Dan perlu diingat, tak ada paksaan dalam setiap proses penanaman.

Nah, ada kan ya pepatah bilang "buah jatuh ngga jauh dari pohonnya" bahwa karakter anak-anak itu ngga jauh beda dari orangtua mereka. Jadi karna itu banyak orang beranggapan bahwa ketangguhan dan ghirah ummi dan buya akan menurun ke anak-anaknya.

Anggapan ini seolah menjadi ekspektasi orang-orang kepada kami. Kami selalu dianggap anak-anak yang jauh diatas standar. Selalu dilibatkan dalam masalah-masalah yang 'terlihat' tak sebaya. Tak hanya itu, aku bahkan dikelompokkan kedalam lingkaran yang menurutku sangat sangat tidak sesuai untukku.

Apalagi ketika pertemuan pertama, aku bahkan disuguhi pembicaraan 'dewasa'. Aku sudah berterus-terang dengan MR-ku bahwa aku belum layak untuk disatukan dalam lingkaran ini. Tapi MR-ku bilang "usia tidak menjadi dasar keilmuan seseorang kan". Itulah dampak dari ekspektasi mereka.

Aku jujur aja, sejak menginjakkan kaki disini, aku tak ingin memberi tahu siapapun tentang status orangtuaku dalam dakwah ini. Tapi malang aja, karna proses lingkaran itu, MR baruku terpaksa dikasih tau oleh MR-ku sebelumnya tentang keluargaku.

Dan ketika melingkarpun, MR baruku tersebut dengan sukarela bertanya didepan mbak-mbak yang lain tentang orangtuaku dengan menyebutkan status sementaranya. Wadduh! Misi gagal nih. Dan berita dari mulut ke mulut pun berhasil membongkar semuanya. Aaaaaaarghh!

Sejak saat itulah, aku menjadi tidak begitu tertarik dengan dakwah disini, dengan aktifitas-aktifitasnya. Pun juga dengan metode dakwah kampusnya yang menurutku ngga jelas. Mereka ingin lebih terbuka ke semua orang, tapi masih berlaku eksklusif. Pengen jadi netral, tapi.. Ntahlah..

Aku juga paling ngga suka kalau ada yang bilang "kan shabrina buyanya ini" atau "anaknya itu" berharap aku bisa aktif seperti mereka. Ahh, sangat tak suka dengan metode yang begituan. Prinsip aku "laysa al-fataa man yaquulu hadza abi, walakin al-fataa man yaquulu haa ana dza!". Camkan itu! Hahhahaha *evillaugh*

Ketika aku curhat ke ummi dan buya tentang aktifitas kepartaian dan organisasi disini yang cukup menyita waktuku, buya dan ummi selalu bilang "kalau mengganggu belajar, lebih baik ngga usah ikutan". Nah, skali lagi.. Ngga ada paksaan.

Aku ingin menjadi diriku. Menjadi aktifis karna aku mau, karna ini diriku. Bukan karna siapa-siapa dan bukan mengikut siapa-siapa. Aku ini Aku! Bukan kamu, apalagi mereka!

{ 1 komentar... read them below or add one }

- Copyright © 2013 Shofia Shabrina -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -