- Back to Home »
- Karya , Mini Novel »
- Air Mata Ayah #1
Radhi terdiam ketika ibu guru dikelas meminta murid-muridnya untuk
bercerita tentang kejadian mengharukan yang membuat ayah mereka
meneteskan air mata. Ia termenung memikirkan dan mengingat-ingat kejadian yang pernah membuat ayahnya menangis. Dadanya tiba-tiba terasa sesak, tangisnya seakan
ingin meledak ketika teringat kejadian setahun silam.
***
Kriiiing.. kriiiing.. Telpon rumah berdering.
"Assalamu'alaikum, dengan papa nya radhi?" Terdengar penelpon dari seberang sana mengatur nafasnya agar berita yang dibawa tersampaikan dengan baik.
"Wa'alaikumsalam, bukan. Ini kakaknya Radhi, Risma. Ini dengan siapa ya?" Jawab penerima telpon tenang.
"Ooh Risma. Maaf Risma, ini ustadz Umar. Ustadz ingin meminta pak Ridwan, untuk datang ke pesantren besok. Ada yang ingin Ustadz sampaikan terkait dengan Radhi. Tolong sampaikan ke ayahnya ya Risma. Terima kasih banyak, Assalamu'alaikum" telfon diputus setelah Risma memberikan jawaban atas permintaan penelpon dan membalas salamnya.
***
Al-falah, pesantren legendaris yang sudah berdiri sejak seabad yang lalu dan telah mencetak ulama dan ilmuan hebat dizamannya. Tak terhitung lagi prestasi yang sudah ditorehkan oleh pesantren ini baik di bidang agama maupun ilmu pengetahuan umum lainnya, baik di skala lokal, nasional, bahkan internasional. Atas dasar inilah pak ridwan rela memasukkan anak-anaknya semua termasuk Radhi anak lelaki pertamanya ke pesantren ini, berharap ia bisa menjadi contoh teladan bagi seorang adek laki-lakinya. Dan berharap suatu saat anaknya bisa menjadi ilmuwan hebat yang sholeh nan paham akan agama mengikut jejak para pendahu mereka.
***
Telpon yang tiba-tiba datang itu seolah menggertak jantung dan menghambat pernafasan Risma. Sesak. Risma hanya duduk terpaku diatas kursi disebelah telpon itu terletak. Dia termangu berpikir 'apa yang sudah dilakukan adek laki-laki pertamanya itu sehingga ayahnya diminta untuk mendatangi pesantren?'. Tidak mungkin pelanggaran kecil membuat pesantren harus memanggil ayahnya. Pasti ini pelanggaran yang sudah tidak bisa ditoleransi! Pikir Risma yang membuatnya semakin sesak.
Risma berpikir panjang. Apakah mungkin meminta ayahnya yang super sibuk sebagai seorang gubernur sebuah provinsi untuk mendatangi pesantren? Sedangkan yang selalu berurusan dengan sekolah itu adalah ibunya yang kebetulan selama 1,5 bulan ini tak ada dirumah karena beliau melaksanakan haji bersama kedua orangtuanya. Dan Ayahnya bukannya tak peduli, tapi memang tak pernah sempat mengurus hal-hal seperti ini.
Tak terasa buliran-buliran hangat membanjiri kedua belah pipinya yang bersih. Ia menangis. Ia tau, ini bukan kali pertama adeknya membuat masalah di pesantren. Risma juga alumni al-falah, tapi ia belum melanjutkan studynya lantaran lamaran beasiswa S1 ke inggris belum ada jawaban. Karna itu ia sering mengisi waktu luangnya bermain atau sekedar menatap keramaian di al-falah yang berjarak hanya satu jam dari rumahnya. Ia juga sering berkonsultasi dengan para ustadz dan ustadzah tentang kedua adek-adeknya yang berada di pesantren tersebut. Dari sanalah Risma mengetahui keadaan Radhi sekarang. Namun, kabar yang baru saja datang itu membuatnya ingin berteriak 'tidak mungkin!'.
Risma merenung, memikirkan cara yang tepat untuk melewati masalah ini. Dia belum berani mengutarakan persoalan yang semakin parah ini kepada ayahnya. Risma juga tau kalau ayahnya sedang memikirkan banyak hal terkait tugas dan amanahnya. Ia takut, emosi ayahnya akan meluap ketika tahu kejadian yang tak pernah terlintas dipikirannya.
***
Risma berjalan gontai keluar rumah. Dengan mengendarai motor matic-nya, ia bergerak menuju pesantren al-falah. Pikirannya berkecamuk. Campur aduk. Radhi yang sekarang baru menginjak kelas 1 'aliyah di al-falah sepertinya sudah tidak betah lagi berada disana. Sebelumnya ia pernah mengutarakan ketidak inginannya untuk lanjut bersekolah di pesantren al-falah ketika dia sudah terlanjur masuk 'aliyah. Karna keputusan yang plin-plan ini, ia tidak begitu mendapat respon dari ayah dan ibu. Mungkin tingkahnya kali ini bertujuan untuk mengeluarkan dirinya dari al-falah.
Sebenarnya ini semua pilihan Radhi. Ketika di penghujung kelas 3 SMP di pesantren yang sama, dia diberi pertanyaan apakah ingin lanjut di al-falah atau di sekolah lain. Risma dan keluarga tentu ingin Radhi tetap di al-falah dan membujuknya tanpa memaksa. Radhi setuju. Dan mungkin persetujuannya tidak terbersit dari hati yang paling dalam. Sehingga saat ini dia menunjukkan pemberontakan.
Satu jam kemudian, Risma sudah berada di jalan setapak menuju al-falah. Pepohonan hijau di hutan yang mengelilingi al-falah sedikitnya telah memberikan ketenangan kepada Risma sebelum dia menemui ustadz Umar, ustadz yang menelponnya kemaren. Al-falah siang ini terasa sepi. Mungkin karena murid-muridnya sedang dalam proses KBM.
Setelah memarkir matic-nya dengan rapi, Risma berjalan pelan menuju kantor.
"Assalamu'alaikum.." Risma masuk tanpa mengetuk pintu, karena pintu kantor memang sudah terbuka.
"Wa'alaikumussalam.." Jawab penghuni kantor yang langsung keluar menuju ruang tamu. "Ehh Risma.. Apa kabar?" Tanya ustadz Umar yang langsung mengambil posisi untuk duduk.
"Alhamdulillaah, sehat ustadz.." Risma menjawab sambil agak deg-degan. "Gimana ustadz?"
"Oya.. Kita langsung aja ya.."
"Iyya ustadz.. Silahkan.." Risma agak tertunduk, mempersiapkan diri menerima apa saja yang diungkapkan oleh ustadz umar.
(Bersambung..)
***
Kriiiing.. kriiiing.. Telpon rumah berdering.
"Assalamu'alaikum, dengan papa nya radhi?" Terdengar penelpon dari seberang sana mengatur nafasnya agar berita yang dibawa tersampaikan dengan baik.
"Wa'alaikumsalam, bukan. Ini kakaknya Radhi, Risma. Ini dengan siapa ya?" Jawab penerima telpon tenang.
"Ooh Risma. Maaf Risma, ini ustadz Umar. Ustadz ingin meminta pak Ridwan, untuk datang ke pesantren besok. Ada yang ingin Ustadz sampaikan terkait dengan Radhi. Tolong sampaikan ke ayahnya ya Risma. Terima kasih banyak, Assalamu'alaikum" telfon diputus setelah Risma memberikan jawaban atas permintaan penelpon dan membalas salamnya.
***
Al-falah, pesantren legendaris yang sudah berdiri sejak seabad yang lalu dan telah mencetak ulama dan ilmuan hebat dizamannya. Tak terhitung lagi prestasi yang sudah ditorehkan oleh pesantren ini baik di bidang agama maupun ilmu pengetahuan umum lainnya, baik di skala lokal, nasional, bahkan internasional. Atas dasar inilah pak ridwan rela memasukkan anak-anaknya semua termasuk Radhi anak lelaki pertamanya ke pesantren ini, berharap ia bisa menjadi contoh teladan bagi seorang adek laki-lakinya. Dan berharap suatu saat anaknya bisa menjadi ilmuwan hebat yang sholeh nan paham akan agama mengikut jejak para pendahu mereka.
***
Telpon yang tiba-tiba datang itu seolah menggertak jantung dan menghambat pernafasan Risma. Sesak. Risma hanya duduk terpaku diatas kursi disebelah telpon itu terletak. Dia termangu berpikir 'apa yang sudah dilakukan adek laki-laki pertamanya itu sehingga ayahnya diminta untuk mendatangi pesantren?'. Tidak mungkin pelanggaran kecil membuat pesantren harus memanggil ayahnya. Pasti ini pelanggaran yang sudah tidak bisa ditoleransi! Pikir Risma yang membuatnya semakin sesak.
Risma berpikir panjang. Apakah mungkin meminta ayahnya yang super sibuk sebagai seorang gubernur sebuah provinsi untuk mendatangi pesantren? Sedangkan yang selalu berurusan dengan sekolah itu adalah ibunya yang kebetulan selama 1,5 bulan ini tak ada dirumah karena beliau melaksanakan haji bersama kedua orangtuanya. Dan Ayahnya bukannya tak peduli, tapi memang tak pernah sempat mengurus hal-hal seperti ini.
Tak terasa buliran-buliran hangat membanjiri kedua belah pipinya yang bersih. Ia menangis. Ia tau, ini bukan kali pertama adeknya membuat masalah di pesantren. Risma juga alumni al-falah, tapi ia belum melanjutkan studynya lantaran lamaran beasiswa S1 ke inggris belum ada jawaban. Karna itu ia sering mengisi waktu luangnya bermain atau sekedar menatap keramaian di al-falah yang berjarak hanya satu jam dari rumahnya. Ia juga sering berkonsultasi dengan para ustadz dan ustadzah tentang kedua adek-adeknya yang berada di pesantren tersebut. Dari sanalah Risma mengetahui keadaan Radhi sekarang. Namun, kabar yang baru saja datang itu membuatnya ingin berteriak 'tidak mungkin!'.
Risma merenung, memikirkan cara yang tepat untuk melewati masalah ini. Dia belum berani mengutarakan persoalan yang semakin parah ini kepada ayahnya. Risma juga tau kalau ayahnya sedang memikirkan banyak hal terkait tugas dan amanahnya. Ia takut, emosi ayahnya akan meluap ketika tahu kejadian yang tak pernah terlintas dipikirannya.
***
Risma berjalan gontai keluar rumah. Dengan mengendarai motor matic-nya, ia bergerak menuju pesantren al-falah. Pikirannya berkecamuk. Campur aduk. Radhi yang sekarang baru menginjak kelas 1 'aliyah di al-falah sepertinya sudah tidak betah lagi berada disana. Sebelumnya ia pernah mengutarakan ketidak inginannya untuk lanjut bersekolah di pesantren al-falah ketika dia sudah terlanjur masuk 'aliyah. Karna keputusan yang plin-plan ini, ia tidak begitu mendapat respon dari ayah dan ibu. Mungkin tingkahnya kali ini bertujuan untuk mengeluarkan dirinya dari al-falah.
Sebenarnya ini semua pilihan Radhi. Ketika di penghujung kelas 3 SMP di pesantren yang sama, dia diberi pertanyaan apakah ingin lanjut di al-falah atau di sekolah lain. Risma dan keluarga tentu ingin Radhi tetap di al-falah dan membujuknya tanpa memaksa. Radhi setuju. Dan mungkin persetujuannya tidak terbersit dari hati yang paling dalam. Sehingga saat ini dia menunjukkan pemberontakan.
Satu jam kemudian, Risma sudah berada di jalan setapak menuju al-falah. Pepohonan hijau di hutan yang mengelilingi al-falah sedikitnya telah memberikan ketenangan kepada Risma sebelum dia menemui ustadz Umar, ustadz yang menelponnya kemaren. Al-falah siang ini terasa sepi. Mungkin karena murid-muridnya sedang dalam proses KBM.
Setelah memarkir matic-nya dengan rapi, Risma berjalan pelan menuju kantor.
"Assalamu'alaikum.." Risma masuk tanpa mengetuk pintu, karena pintu kantor memang sudah terbuka.
"Wa'alaikumussalam.." Jawab penghuni kantor yang langsung keluar menuju ruang tamu. "Ehh Risma.. Apa kabar?" Tanya ustadz Umar yang langsung mengambil posisi untuk duduk.
"Alhamdulillaah, sehat ustadz.." Risma menjawab sambil agak deg-degan. "Gimana ustadz?"
"Oya.. Kita langsung aja ya.."
"Iyya ustadz.. Silahkan.." Risma agak tertunduk, mempersiapkan diri menerima apa saja yang diungkapkan oleh ustadz umar.
(Bersambung..)