Archive for September 2014

Karena Mertua Adalah Orangtua

Tulisan ini ditulis sebagai pesan untuk abang ipar, yang disaat itu statusnya masih calon. :D

*****

Suatu hari, seorang teman tiba-tiba nyeletuk setelah bercengkerama tentang banyak hal “aku belum siap nikah”. Aku jawab “belum siap sekarang sih ngga masalah, berarti harus mulai mempersiapkan diri. Yang jadi masalah tu kalau ngga pernah siap, apalagi ngga mau nikah. Btw, knapa emangnya?”

"Bingung aja. Karena kalau udah nikah, surganya istri berpindah ke kaki suami. Istri dituntut untuk lebih mendahulukan suami. Kan kasihan orangtua kita. Udah banyak pengorbanan mereka ke kita selama puluhan tahun, tapi endingnya begitu".

Aku lupa jawaban apa yang dulunya aku berikan. Tapi, setelah berpikir cukup lama, akhirnya aku memiliki sebuah opini tentang ini. Tentunya ini sangat subjektif, mungkin.

Jika seorang perempuan menikah, maka tanggung jawab orangtua berpindah ke suami. Menjaganya, mendidiknya, memenuhi kebutuhannya, dll. Jadi suami memiliki peran penting di kehidupannya sejak menikah hingga akhir hayat. Makanya, kepatuhan perempuan berpindah. Tapi bukan berarti ia melupakan orangtuanya dan meninggalkan tanggungjawabnya. Melainkan kuantitasnya ‘terlihat’ berkurang.

Bagaimanapun, suami yang baik adalah dia yang tidak melupakan tanggungjawabnya. Menikahi perempuan bukanlah menjalin hubungan dengan dia seorang, melainkan dengan orangtua istri (mertua) dan keluarganya. Sebagaimana dia menghormati orangtuanya, seperti itu pula seharusnya ia memperlakukan mertuanya. Tidak timpang.

Suami yang baik adalah, ia yang malah menawarkan istrinya untuk menjumpai orangtuanya (istri) tanpa diingatkan. Karna ia tahu, tanpa kedua orangtua istrinya, mungkin mereka takkan pernah berjumpa. Dan karna ia paham, seharusnya ia berterimakasih karna mereka telah melahirkan, menjaga, dan mendidik istrinya dengan baik.

Karena mertua adalah orangtua.

Wallahu a’lam~

Menyikapi Polemik 4x6 dan 6x4

Sudah hampir sepekan Indonesia dihebohkan dengan gambar tugas anak kelas 2 SD tentang operasi perkalian yang di-upload oleh kakaknya di facebook. Dia merasa, jawaban yang dia ajarkan kepada adiknya adalah benar dan gurunya salah.

Mungkin tidak perlu dijelaskan lagi secara detail tentang masalah yang telah membuat ilmuan-ilmuan Indonesia beradu argumen dan pemahamannya. Karena sudah banyak berita yang menyebar-luaskannya, baik yang mendukung si murid, maupun si guru.

Setuju atau tidaknya kita dengan tindakan guru yang menyalahkan hampir semua soalan, tergantung pada kacamata yang kita gunakan untuk memandang masalah. Keduanya, murid dan guru, bisa jadi salah dan juga bisa jadi benar.

Tapi, ada hal yang harus ditekankan dan dipegang oleh seorang pendidik. Apresiasi. Iya apresiasi. Apa itu? Apresiasi adalah ‘penghargaan terhadap sesuatu’. Memberikan apresiasi terhadap murid adalah keharusan bagi seorang guru. Tapi juga tidak lupa untuk mengingatkan dan memberikan perbaikan kepada murid.

Menurut teori perkembangan yang disusun oleh Erickson, pada usia 6-11 tahun, anak-anak mengalami masa produktif untuk berkreasi dan berinovasi. Jika mereka diapresiasi atas apa yang mereka kerjakan, maka produktifitas berkembang. Jika tidak, maka ia akan terhambat dan bahkan bisa menimbulkan rasa rendah diri.

Dalam islam, seorang guru haruslah mendidik muridnya dengan basis ‘bagaimana murid bisa mencintai ilmu’ bukan ‘mencintai nilai’. Kenapa? Karena nilai bersifat relatif. Yang nilainya tinggi bisa jadi sukses, yang nilainya rendah ternyata bisa jadi lebih sukses.

Dan juga, tidak ada satupun bukti di alquran maupun hadits yang memuji orang yang memiliki nilai yang tinggi. Malahan, banyak ayat dan hadits yang menyanjung para pecinta ilmu. “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar alquran dan mengamalkannya”.

Tidak masalah ketika anak-anak berbuat kesalahan karena itu bukti mereka mencoba dan berusaha. Yang penting itu adalah respon yang diberikan terhadap kesalahan-kesalahan itu. Wallahu a’lam.

Jangan Ada Kata 'Hanya' (Cuma)

Sadar atau tidak, dalam berkata dan berkomunikasi, tidak jarang kita mengucap kata hanya ataupun cuma. Apa pentingnya kedua kata ini?

***

Suatu hari di kota kembang, sebuah lingkaran majelis terbentuk dalam sebuah rumah di sudut suatu perumahan. Lingkaran ini adalah lingkaran ta'aruf, perkenalan dengan si empunya rumah. Dan aku merupakan salah seorang yang berada disana.

My 21st~

Bismillaah..
Baru sempat menulis lagi. Ceritanya, selama liburan, menulis jadi terliburkan karna satu dan lain hal (ngga perlu disebutkan kan? Hehe).

Okay, let me tell something.

1 September lalu, genap 21 tahun lamanya aku nongkrong di dunia ini. Bagusnya disebut "udah 21 aja" atau "baru 21" ya? Keduanya punya maksud yang jauh berbeda.

Yang pertama bermakna kekagetan bahwa tak terasa, aku sudah menghabiskan 7665 hari di bumi. Tidak menyangka bahwa aku sudah cukup tua, namun tak punya apa. Waktu terasa begitu cepat, sampai aku tak menyadari kalau bekalku tak ada, bahkan karyaku fana. Aku menyesal.

Yang kedua bermakna santai. Enjoying life. Belum seperempat abad mampir disini, it's okay lah, masih ada waktu. Namun, respon seperti ini bisa membuatku alfa bahkan lupa, bahwa waktu tidak kupunya. Allaahummaghfirliy~

Respon terbaik, haruslah yang pertama. Membuat kita slalu muhasabah, memperbaiki diri, mempersiapkan bekal, dan mencipta karya.

***

Aku tidak tahu, dihari ulang tahunku ini, aku hanya ingin berjalan-jalan mengunjungi siapa saja yang bisa dikunjungi. Salah satu tujuanku saat itu adalah guruku yang sedang sakit. Atas izin Allah, adekku tidak jadi kuliah, dan aku bisa leluasa bermotor-ria.

Sebelum zuhur aku sudah berada di rumah guruku. Ternyata beliau lagi sendirian di rumah, yang karna kunjunganku, ia terpaksa pelan-pelan berjalan untuk membukakan pintu untukku. Aku jadi merasa bersalah.
Tak terasa, berjam-jam (yang dilanjutkan sore harinya karna dipaksa menemani senior yang mau menjenguk beliau) aku habiskan untuk bercerita, mendengar cerita dan petuah dari guruku.

Ada banyak hal yang aku dapatkan dari beliau. Salah satunya adalah, kesabaran. Kesabaran beliau yang sudah bertahun-tahun aku saksikan dan aku rasakan.

Sabar terhadap segala ujian yang Allah berikan dan juga terhadap penyakit yang beliau derita, yang malah akan menjadi penggugur dosa-dosa.

Sabar akan fananya gemerlap dunia. Karna hidup bukanlah untuk mengumpulkan harta, tapi menikmati berkahNya. Jika keberkahan Allah slalu menaungi hidup kita, maka kekayaan seolah tak bernafsu menggerogoti hati kita.

Dan bahwa ukhuwah adalah sebaik-baik persahabatan yang jauh lebih bernilai dari dunia dan seisinya. Ukhuwah fillah yang bisa mengantarkan kita hingga jannahNya. Berkumpul mesra dalam naungan cintaNya.

***

Ahh, pertemuan yang menyenangkan. Aku merasa tepat skali karna memilih mengunjungi guruku dihari spesial ini. Seakan ruhku diperbaharui, dicas, untuk menghadapi tahun-tahun hidup berikutnya yang jauh lebih menantang.

Semoga Allah perpanjang umurku dalam keta'atan padaNya. Karna memang, aku belum punya cukup bekal untuk segera menemuiNya. Rabbiy, izinkan aku untuk mempersiapkan sebanyak-banyaknya bekal sebelum aku menjumpaMu~

Allahummaghfirliy..

- Copyright © 2013 Shofia Shabrina -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -