Archive for 2015

Tersembunyi atau Terpublikasi?

Tahukah kita?

Bahwa maksiat yang dijatuhi hukuman hudud tidak seberapa? Yang sedikit itupun dipersulit dengan syarat adanya beberapa saksi yang benar-benar melihat maksiat itu terjadi dengan mata kepala mereka sendiri.

Bahwa maksiat yang disembunyikan, akan aman selama di dunia (pastinya tak aman di akhirat jika tidak bertaubat)? Yang menyebabkan orang-orang tidak bisa sembarangan menuduh tanpa adanya saksi.

Tapi, mengapa dengan bangga kita share maksiat yang kita lakukan? Apakah karena ianya dosa kecil sehingga kita abai dengan efek yang mungkin mempengaruhi orang lain?

Kita sering menuntut orang untuk "Don't judge me!". Tapi kita lupa kalau orang hanya bisa melihat zhahir, bukan batin. Apa yang kita share, kita seolah memberitahu orang "Inilah saya".

Seolah mempersilahkan orang berasumsi tentang kita, namun melarang mereka berpendapat. Apakah sama dosa untuk maksiat yang tersembunyi dengan maksiat yang dipublikasi?

Atau mungkin anggapan kita sudah berbeda tentang perbuatan-perbuatan yang menabung dosa. Carut marut, sumpah serapah, interaksi berlebihan dengan lawan jenis, dan lainnya.

Anggap saja begitu. Tapi, coba hitung berapa pasang mata yang akan melihat foto-foto kita, membaca tulisan-tulisan kita? Dan ini juga akan menambah tabungan kita di akhirat nanti. Terpikirkankah?

Baik dan buruk itu relatif. Relatif kalau kita beragamakan budaya dan bangsa. Tapi satu dan tetap, dalam kesempurnaan Islam. Islamkah agama kita? Kalau iya, berarti sudah jelas standar kebaikan dan keburukan di mata kita.

Kebaikan adalah akhlak (perbuatan) yang baik, sedangkan dosa adalah segala hal yang mengusik jiwamu dan engkau tidak suka jika orang lain melihatnya. (HR. Muslim)

Wallahu a'lam.

*Correct me if I'm wrong
*Masih belajar

Berjarak Bukan Berarti Tak Bersahabat, Bukan?

 
10 tahun lalu, ketika aku memutuskan untuk melanjutkan studi di sebuah pesantren yang baru dirintis dan menjadi angkatan kedua, aku tidak begitu tahu siapa saja yang akan menemani hari-hariku selama 'terkurung' disana. Entah aku akan bertemu dengan teman lama, atau tidak sama sekali. Yang aku tahu, untuk pertama kalinya aku bersekolah diluar kota Padang.

Ohh ternyata, syukurlah. Walaupun banyak teman yang baru pertama kali dijumpa, banyak juga yang sudah kuakrabi sekian lama. Teman TK, teman SD, atau hanya sekedar kenal karena orangtua. Alhamdulillah, kurang lebih kondisi ini dapat mengurangi kecanggunganku menghadapi 'dunia' baru.

Bagi kebanyakan manusia, tentu lebih menyenangkan bermain dan bercengkerama dengan mereka yang sudah dikenal. Begitu juga denganku. Membersamai kembali teman-teman sepermainan di masa kecil membuatku bernostalgia akan cerita-cerita yang dilewati bersama.

Apalagi bersama salah seorang teman kecilku yang hanya terpaut seminggu lebih tua dariku. Kami tidak bisa menebak sejak kapan kami saling mengenal, yang jelas, jauh sebelum kami dilahirkan kami sudah diakrabi lewat keakraban yang dibina oleh orangtua kami.

Ketika tahu aku dan dia akan mendekam di pesantren yang sama, I was so excited. Bagaimana tidak bahagia, toh aku dipertemukan lagi dengan teman yang ketika aku belum bangun saja dia sudah nongol di rumahku, ngajak main. Hahahaha..

Kebetulan rumah kami tidak begitu jauh. Sehingga pertemuan kami bisa dibilang intensif sampai kami menginjak bangku SD. Ya, kami ditakdirkan bersekolah di SD yang berbeda. Ini membuat pertemuan kami menjadi langka, apalagi setelah keluarganya pindah rumah.

Perpisahan yang cukup lama antara kami berdua cukup membuatku canggung ketika kembali bersua secara nyata di penghujung masa SD dalam sebuah kompetisi yang diadakan di sekolahnya. Dibilang nyata karena bisa jadi di tahun-tahun sebelumnya kami pernah berjumpa tapi tanpa sapa. Wallahu a'lam. Hehe..

Then, saat itu pun karena kami sama-sama canggung menghadapi keadaan yang (mungkin) sudah lama dinanti, kami tak sempat lama bercengkerama melepas rindu. Hanya sekedar pertanyaan basa-basi yang mulus keluar dari mulut kami berdua. Aduh, lucunya.. Tapi, inilah yang membuat persahabatan kami menjadi semakin menarik.

Pun ketika kami dipertemukan kembali di pesantren, aku masih canggung walau bahagia. Tapi tidak perlu waktu lama untuk kami kembali akrab seperti sedia kala. Playing and babbling around, layaknya dua sahabat kebanyakan. Saling mengingatkan dan menyemangati dalam kebaikan. Bahkan aku tertular semangat yang dimilikinya. Salah satunya, aku berhasil menghafal surat Al-Mulk karenanya~

Tapi tetap aja kalo udah liburan dan jarang ketemu, pas balik ke pesantren jadi canggung lagi. Pernah suatu hari setelah liburan, musyrifah pada manggil kami berdua. Mungkin beliau heran, "nih anak perasaan sebelum liburan akrabnya masyaAllah, nah sekarang kenapa ngga sapaan begini ya? Bertengkar kah?". Padahal kan there was no any problem~

Semakin kami tumbuh dewasa, kami semakin membuka diri untuk bersahabat dengan siapa saja (apalagi aku yang kurang cepat beradaptasi). Tentu aku juga tak ingin 'menikmati' sendiri pertemanan dengannya, karena (sepertinya) banyak juga teman-teman lain yang ingin dekat dan bersahabat dengannya.

Sejak saat itu, kami mulai berjarak. Berjarak bukan berarti tak bersahabat, bukan? Seperti yang ia ibaratkan dalam tulisannya, "Tapi seakan ruh kami benar-benar terpaut dengan nyata. Semangatku adalah semangatnya. Gundahku adalah gundahnya. Kami berbagi dalam diam. Kami akrab dalam keheningan. Tapi itu terasa nyata bagi kami. Sulit di percaya? Dan memang begitulah adanya.."

Beginilah kami. Dengan kecanggungan dan ego masing-masing, dengan gaya dan hobi yang berbeda, berhasil mengamankan persahabatan yang telah ada sebelum kami lahir. Walaupun setelah lulus dari pesantren, kami ditakdirkan berpisah kembali karena melanjutkan studi di kampus yang berbeda dengan jurusan yang sama, Psikologi. Thanks for everything~

**********

Dan hari ini, 26 Agustus 2015, tepat 22 tahun sudah kamu mengecap semua rasa dunia; manis, asam, asin (rame rasanya!). Selamat hari lahir~

May Allah grant you best life in this world and the Hereafter and bless you with a lot of His blessings and love. Dan semoga ukhuwah kita, seperti apapun bentuknya, selalu mengiring kita dalam kebaikan menuju jannah firdausNya. Barakallaaaah cha! Uhibbuki fillaah~ ^^

Seakan Mengenalnya Sebelum Hidup...

Bayangan kami yang hinggap di jalanan Madura ^^
Ditulis oleh Raisa Karima pada tanggal 6 November 2012, dalam rangka 'tugas'.

Ahh, speechless saya mah. Bukan karena kontennya, tapi karena ternyata apa yang saya rasakan tidak bertepuk sebelah tangan, saya masih dianggap. Dianggap sebagai teman, bahkan.. (baca aja tulisan ini sampe kelar). Hahahaha.. *terharu*

**********

Apa yang akan kamu lakukan jika kamu telah menemukan seorang teman yang tidak hanya sekedar teman di dunia saja, namun juga seorang teman yang senantiasa membimbingmu menuju surga? Tentu kamu tak ingin menyia-nyiakan kehadirannya bukan? Begitu juga denganku. Karena, aku bahkan tak sempat berpikir lebih jauh lagi jika ia tak lagi ada di sisiku, di salah satu sudut ruang hatiku.

Sebut saja sebenarnya kami tak begitu dekat, sampai sebelum kami tamat TK. Hahaha... TK? Bagi kalian mungkin ini adalah hal terkonyol yang pernah ada, tapi memang begitulah adanya. Sepertinya kami telah dipertemukan jauh sebelum kami berdua dilahirkan di dunia ini. Hingga, saat umur kami telah mencapai batas minimum murid TK, kami akrab begitu cepat. TK itu adalah awal kami mulai mengaduk-aduk rasa dan asa. Mencoba membuat adonan kehidupan yang empuk...

Begitu banyak hal yang tejadi semasa TK yang membuat hidup kami penuh warna. Persahabatan yang pasang surut. Layaknya anak-anak kebanyakan, kami pun tak luput dari yang namanya pertengkaran, perebutan, bahkan pernah tak saling menyapa karena kesal yang begitu menumpuk. Tapi seketika rasa permusuhan itu luluh – entah kenapa, aku tak ingat – dan pertemanan kembali seperti sedia kala.

Mungkin tak butuh banyak alasan kenapa aku dan dia bisa berteman sedekat itu. Hanya saja, aku dan dia memang sepertinya telah menjalin persahabatan saat kami masih di surga dulu. Di suatu masa yang entah apa namanya. Yang pasti sebelum ruh-ruh kami di tiupkan pada tahun 1993. Dan alasan klasik itu pun cukup menjadi satu-satunya alasan bagiku kenapa aku dan dia bisa berteman seperti ini.

Sudah aku bilang bukan, bahwa persahabatan kami ini pasang surut. Bukan hanya dari segi ego, tapi waktu pun memang telah menakdirkan kami terpisah begitu lama, dan akhirnya mempertemukan lagi. Aku dan dia seakan-akan dipermainkan dengan sebegitu lumrahnya oleh takdir. Tapi di sanalah letak proses pendewasaan pertemanan kami.

Setelah tamat TK, aku dan dia pun berpisah. Kami beda sekolah, meski pada awalnya telah merancang impian masuk di SD yang sama. Tapi takdir memang sungguh tega pada saat itu untuk memisahkan kami.

SD selama 6 tahun tak pernah memberi kesempatan kepada kami untuk bertemu, selain pada satu momen lomba matematika di sekolahku yang mengundang beberapa sekolah, termasuk sekolahnya. Ya, hanya sekali itu. Itu pun di tahun akhir kami di SD. Kami begitu canggung, sama-sama enggan menyapa. Meski akhirnya aku yang memberanikan diri untuk menyapanya sebelum dia pulang dari lomba. Singkat saja, hanya menanyakan kabar, dan aku pun berlalu bertepatan dengan angkutan umum yang ditujunya datang.

Waktu berlalu begitu cepat, hingga kami – lagi-lagi entah kenapa – dipertemukan kembali di SMP yang sama. Berlanjut hingga SMA. Tapi seperti yang sudah di duga, selama 6 tahun SMP-SMA, aku dan dia tidak begitu dekat. Tapi seakan ruh kami benar-benar terpaut dengan nyata. Semangatku adalah semangatnya. Gundahku adalah gundahnya. Kami berbagi dalam diam. Kami akrab dalam keheningan. Tapi itu terasa nyata bagi kami. Sulit di percaya? Dan memang begitulah adanya...

Dia dengan sendirinya telah menjadi tak jauh berbeda dengan saudara kandungku. Kami berpacu dalam kebaikan. Dalam keta’atan kepadaNya. Berlomba siapakah sekiranya yang menjadi hamba Allah yang lebih utama. Dan kami sepakat harus sama-sama menjadi juara satunya. Sehingga, saling mengingatkan kala alfa itu menjadi sebuah keharusan.

Dan setalah 6 tahun dipertemukan kembali, kini, ketika kami kuliah, kembali takdir memisahkan. Meski sama-sama jurusan psikologi, namun universitas yang berbeda memberikan sensasi tersendiri dalam pertemanan kami selanjutnya.

Pertemanan ini akan terus bertahan, anggap saja memang tak ada jarak antara Malaysia dan Indonesia. Karena hati kami begitu dekat. Sudah kubilang, pertemanan kami sudah dimulai sejak sebelum kami dilahirkan ke dunia... :)

Islam yang Rahmah

Untuk semester ini, saya sudah mulai mengambil subjek pilihan di jurusan. Kali ini saya diberi kesempatan untuk mengenal dan mempelajari tentang Forensic Psychology. Do you know what is it? Googling please.. Wkwkwkwk

Forensic Psychology ini juga dikenal dengan Criminal Psychology. Jadi isinya berkisar tentang hukum kriminal, juga hukum antara pelaku, korban, dan saksi kejahatan. Kalau dalam islam, erat kaitannya dengan fiqh jinayah.

Suatu hari di kelas, dosen saya untuk subjek ini bertanya “di zaman Rasulullah, ada kasus seorang perempuan yang telah berzina, merasa bersalah dan mengaku dihadapan Rasulullah. Dia meminta beliau untuk merajamnya. Tapi Rasulullah mengundurnya bertahun-tahun meski si perempuan telah berkali-kali memohon agar dia segera dihukum.

Sampai pada suatu hari, Rasulullah akhirnya menjatuhkan hukuman padanya. Sebagai seorang psikolog (will be) apa unsur psikologis yang ada dalam kisah itu yang menunjukkan bahwa syari’at islam atau hudud itu rahmah, bukan kejam seperti yang digambarkan banyak orang?”

Saya waktu itu sudah bisa meraba-raba jawabannya, tapi tidak begitu pede. Lalu saya mencoba menjawab dengan jawaban yang lain “Sir, bukankah dalam islam kalau seseorang sudah diberi hukuman sesuai syari’at, dia tidak akan dihukum lagi diakhirat?”

"Jawabannya betul. Tapi ini terlalu ekstrim. Jawaban ini tidak bisa membuktikan kepada orang lain bahwa hukum islam itu rahmah, bahwa syari’at adalah yang terbaik. See this case based on the perspective of Psychology" jawab beliau.

Aduh, jadi bukan itu toh. Kacamata psikologi itu kayak mana sih. Apa mungkin jawaban yang saya ragui tadi benar ya? Tapi saya kurang berani untuk menyampaikannya. Sudah beberapa mahasiswa yang mencoba menjawab pertanyaan tersebut, tapi belum ada satupun yang sesuai.

Akhirnya, karena tak kunjung dijawab sesuai harapan dan juga untuk mempersingkat waktu, akhirnya dosen saya menjawab “Rasa bersalahnya. Jika perempuan tersebut hidup dengan perasaan bersalah yang mendalam, ini akan berakibat buruk padanya, pada keluarganya, dan juga masyarakat”.

Lanjut beliau “oleh karena itulah Rasulullah memutuskan untuk merajamnya demi menyelamatkan dirinya, keluarganya, dan juga masyarakat sekitar. Inilah yang menunjukkan betapa rahmah-nya islam, betapa syari’at itu bukanlah untuk menyiksa tapi menyelamatkan”.

Oalah, itu kan jawaban yang saya ragukan tadi. Ternyata itu yang dinanti-nanti.

Inilah dia sekelumit penjelasan tentang Islam nan rahmatan lil ’alamin. Bahwa eksistensi dan aplikasi syari’ah islamiyah adalah untuk kemaslahatan ummat, untuk kebaikan mereka dunia dan akhirat. Hudud dan qisas memanglah hukum islam, tapi itu hanya sebagian kecilnya. Sedangkan sebagian besar diisi oleh ta'zir.

Dan seperti kasus diatas, hudud tidak serta merta diaplikasikan ketika seseorang berbuat salah, ada proses dan banyak pertimbangan yang bahkan bisa membawa pada pembebasan seseorang dari hudud. Karena, islam itu indah, islam itu rahmah. Our lifestyle and our way of life.

Dan disinilah letak salah satu peran Psikolog muslim untuk menunjukkan keindahan islam, sebagai agent of change, agent of dakwah. Selamat berkontribusi!

PK Movie, Misi Tersembunyi?

Denger-denger ITJ mau bedah film PK, boleh kali ya saya sedikit menulis pendapat saya tentang film tersebut, karena juga ngga bisa ikutan acaranya. Senggol om Akmal Sjafril :D

Menurut saya, film nya bagus. Film ini menunjukkan pada dunia bahwa agama Islam bukanlah agama yang munafik, muslim bukanlah seorang pembohong ataupun pengkhianat.

Sarfaraz selaku muslim di film ini, tidak berbohong akan perasaannya, pun keinginannya untuk menikahi Jaggu. Tapi, kebetulan dia datang terlambat dari waktu yang telah ia janjikan, sehingga Jaggu berasumsi bahwa Sarfaraz telah membohonginya.

Edisi lengkap silahkan tonton filmnya ^^

Anyway, seperti juga film "My name is Khan", film ini membawa misi yang sama. Terlihat tapi tersembunyi. Terlepas dari kesengajaan produser, film ini telah membawa kita pada isu "pernikahan beda agama".

Selain itu film ini juga membawa persepsi kita melayang pada kesimpulan bahwa ternyata muslim juga bertingkah sama seperti non-muslim. Seperti yang ditampilkan di film ini, bahwa Sarfaraz pacaran dan tinggal serumah dengan Jaggu.

(Walaupun faktanya banyak muslim yang seperti itu, tapi semuanya bukanlah ajaran-ajaran Islam yang disampaikan oleh Rasulullah.)

Jika kita orang yang sudah paham agama dengan baik (insyaAllah), tentu ini bukanlah isu yang harus diwaspadai. Tapi penonton film ini tidak semua yang mengerti Islam secara sempurna. Bisa jadi kita mengambil kesimpulan yang salah.

Karena film memiliki pengaruh dalam menciptakan stigma dan mengubah paradigma. Sebagaimana kita dulu mengambil kesimpulan bahwa 'ibu tiri itu jahat' dari film Cinderella. Wallahu a'lam~

‪#‎CMIIW‬

- Copyright © 2013 Shofia Shabrina -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -